Masyarakat umum belum mengenal penggunakan kaos atau
T-Shirt/kaos dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan, para tentara yang menggunakan
T-Shirt/kaos polos tanpa desain ini pun hanya menggunakannya ketika
udara panas atau aktivitas-aktivitas yang tidak menggunakan seragam.
Ketika itu warna dan bentuknya (model) itu-itu melulu. Maksudnya, benda
itu berwarna putih, dan belum ada variasi ukuran, kerah dan lingkar
lengan
T-shirt/Kaos alias kaos oblong ini mulai
dipopulerkan sewaktu dipakai oleh Marlon Brando pada tahun 1947, yaitu
ketika ia memerankan tokoh Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan
lakon “A Street Named Desire” karya Tenesse William di Broadway, AS.
T-shirt berwarna abu-abu yang dikenakannya begitu pas dan lekat di tubuh
Brando, serta sesuai dengan karakter tokoh yang diperankannya. dan film
Rebel Without A Cause (1995) yang dibintangi James Dean. Pada waktu itu
penontong langsung berdecak kagum dan terpaku. Meski demikian, ada juga
penonton yang protes, yang beranggapan bahwa pemakaian kaos oblong
tersebut termasuk kurang ajar dan pemberontakan.
Tak pelak, muncullah
polemik seputar kaos oblong.
Polemik yang terjadi yakni, sebagian kalangan menilai pemakaian kaos
oblong – undershirt – sebagai busana luar adalah tidak sopan dan tidak
beretika. Namun di kalangan lainnya, terutama anak muda pasca pentas
teater tahun 1947 itu, justru dilanda demam kaos oblong, bahkan
menganggap benda ini sebagai lambang kebebasan anak muda. Dan, bagi anak
muda itu, kaos oblong bukan semata-mada suatu mode atau tren, melainkan
merupakan bagian dari keseharian mereka.
Polemik tersebut selanjutnya justru menaikkan publisitas dan
popularitas kaos oblong dalam percaturan mode. Akibatnya pula, beberapa
perusahaan konveksi mulai bersemangat memproduksi benda itu, walaupun
semula mereka meragukan prospek bisnis kaos oblong. Mereka mengembangkan
kaos oblong dengan pelbagai bentuk dan warna serta memproduksinya
secara besar-besaran. Citra kaos oblong semakin menanjak lagi manakala
Marlon Brando sendiri – dengan berkaos oblong yang dipadu dengan celana
jins dan jaket kulit – menjadi bintang iklan produk tersebut.
Mungkin, dikarenakan oleh maraknya polemik dan mewabahnya demam kaos
oblong di kalangan masyarakat, pada tahun 1961 sebuah organisasi yang
menamakan dirinya “Underwear Institute” (Lembaga Baju Dalam) menuntut
agar kaos oblong diakui sebagai baju sopan seperti halnya baju-baju
lainnya. Mereka mengatakan, kaos oblong juga merupakan karya busana yang
telah menjadi bagian budaya mode.
Demam
kaos oblong
yang melumat seluruh benua Amerika dan Eropa pun terjadi sekita tahun
1961 itu. Apalagi ketika aktor James Dean mengenakan kaos oblong dalam
film “Rebel Without A Cause”, sehingga eksistensi kaos oblong semakin
kukuh dalam kehidupan di sana.
Perlahan namun pasti, T-shirt/Kaos mulai menjadi bagian dari busana
keseharian yang tidak hanya dipakai untuk daleman, tetapi juga menjadi
pakaian luaran. Pada pertengahan tahun 50an, T-shirt sudah mulai menjadi
bagian bagian dari dunia fashion. Namun baru pada tahun 60an ketika
kaum hippies mulai merajai dunia, T-shirt/Kaos benar-benar menjadi state
of fashion itu sendiri. Sebagai sebuah simbol (lagi-lagi) anti
kemapanan, para hippies ini menggunakan T-shirt/kaos sebagai salah satu
simbolnya. Semenjak saat itulah revolusi
T-shirt terjadi
secara total. Para penggiat bisnis menyadari bahwa T-shirt dapat
menjadi medium promosi yang amat efektif serta efesien. Segala
persyaratan sebagai medium promosi yang baik ada di T-shirt. Murah,
mobile, fungsional, dapat dijadikan suvenir, dan seterusnya.
Disaat yang bersamaan, kelompok-kelompok tertentu macam hippies,
komunitas punk, atau organisasi politik, juga menyadari bahwa T-shirt
dapat menjadi medium propaganda yang sempurna selain medium yang telah
ada. Statement apapun dapat tercetak diatasnya, tahan lama, dan
penyebarannya mampu melewati batas-batas yang tidak dapat dicapai oleh
medium lain, seperti poster misalnya.
Dengan segala kesempurnaannya, T-shirt/Kaos tidak lagi menjadi
sederhana. Jelas, secara fungsional benda tersebut masih berlaku sebagai
sebuah sandang. Namun dibalik itu semua, T-shirt/Kaos memiliki value
yang melebihi dari fungsi dasarnya. Desain T-Shirt yang terus berkembang
sampai sekarang selaras dengan perkembangan manusia dan teknologi yang
memang terus berkembang. Sejarah akan terus mencatat desain berbagai
kaos seperti tie dye yang lekat dengan flowers generation, komunitas
punk yang lekat dengan T-Shirt sobek, polos bahkan dengan desain
typohraphy yang mencolok, dan siapa yang tidak kenal dengan kaos I Love
New York yang fenomenal itu.
Desain T-Shirt yang kemudian menjadi semacam aktualisasi pemakainya,
bisa diramalkan akan tetap terus digemari. Elemen desain berupa
typohraphy yang sangat menarik dan penuh maksud sangat berpeluang
diminati masysrakat. Apalagi perkembangan dunia konsumen yang sangat
memanjakan aktualisasi pribadi. Siapa pun Anda, konsumen, pemilik
perusahaan, manajeman band, atau siapapun, bisa dengan mudah menunjukkan
siapa diri Anda hanya dengan memakai T-Shirt dengan desain typohraphy
atau perpaduan elemen desain lain.
Pemakaian kaos dalam berbagai kesempatan memberikan juga peluang bagi
para desainer dalam berkarya. Fungsinya yang semakin melebar sangat
bisa mendukung perkembangan desain itu sendiri. Kreatifitas menggunakan
medium T-Shirt dalam berkarya desain membuka peluang pemaknaan karya
desain serta perluasan pengetahuan tentang desain pada msyarakat.
Berjamurnya clothing dan distro di kalangan bisnis modern adalah salah
satu kemajuan yang positif dalam dunia desain. Berbagai karya desain
yang diimplementasikan dalam medium T-Shirt memberi warna bagi
kehidupan, tidak hanya bentukan huruf tapi foto, karya desain yang dulu
tidak memungkunkan untuk menggunakan media
T-Shirt,
kini semuanya menjadi mungkin.
Namun, perkembangan yang demikian masif
harus tetap juga disikapi dengan baik, kemasifan sesuatu hal terkadang
menjadikan desain hanya sebagai produk instan yang tidak memperhatikan
faedah-faedah desain, karena itulah pengetahuan desainer akan
prinsip-prinsip desain sangat diperlukan.
Di Indonesia, konon, masuknya benda ini karena dibawa oleh
orang-orang Belanda. Namun ketika itu perkembangannya tidak pesat, sebab
benda ini mempunyai nilai gengsi tingkat tinggi, dan di Indonesia
teknologi pemintalannya belum maju. Akibatnya benda ini termasuk barang
mahal.
Namun demikian, kaos oblong baru menampakkan perkembangan yang
signifikan hingga merambah ke segenap pelosok pedesaan sekitar awal
tahun 1970. Ketika itu wujudnya masih konvensional. Berwana putih, bahan
katun-halus-tipis, melekat ketat di badan dan hanya untuk kaum pria.
Beberapa merek yang terkenal waktu itu adalah Swan dan 77. Ada juga
merek Cabe Rawit, Kembang Manggis, dan lain-lain. Dan tren kaos oblong
rupa-rupanya direkam pula oleh Kartunis GM Sudarta melalui tokoh Om
Pasikom dan kemenakannya dengan tajuk “Generasi Kaos Oblong” (Harian
Kompas, 14 Januari 1978).
Dan muali sejak itu mulai mulai banyak bermunculan Konveksi dan Garment di Indonesai antara lain
Ruangvisualgarment ,Sixgreen Cloth dll