Ngomongin kaos gak ada matinya memang unik, menyerupai T dengan bolongan di leher dan lengan, dan bawahnya yuk simak tentang kaos dan modernsasi diambil dari blog boikemulya.blogspot.com , segera kita simak menjadi modern dengan kaos.
Dibanding
jenis pakaian lainnya, sejarah kaos oblong [1] sebenarnya belumlah
terlalu panjang. Kemungkinan besar kaos baru muncul antara akhir abad
ke-19 hingga awal abad ke-20.
Kaos berbahan katun biasanya dipakai oleh
tentara Eropa sebagai pakaian dalam (di balik seragam), yang fleksibel
dan bisa dipakai sebagai pakaian luar jika mereka beristirahat di udara
siang yang panas. Istilah “T-Shirt” (metafor yang mungkin diambil
berdasar bentuknya) baru muncul di Merriam-Webster’s Dictionary pada
1920, dan baru pada Perang Dunia II ia menjadi perlengkapan standar
dalam pakaian militer di Eropa dan Amerika Serikat (T-Shirt King).
Kaos
oblong mulai dikenal di seluruh dunia lewat John Wayne, Marlon Brando
dan James Dean yang memakai pakain dalam tersebut untuk pakain luar
dalam film-film mereka. Dalam A Streetcar Named Desire (1951)
Marlon Brando membuat gadis-gadis histeris dengan kaos oblongnya yang
sobek dan membiarkan bahunya terbuka. Dan puncaknya adalah ketika James
Dean mengenakan kaos oblong sebagai simbol pemberontakan kaum muda dalam
Rebel Without A Cause (1955) (Cullum-Swan dan Manning, 1990). Teknologi screenprint di atas kaos katun baru dimulai awal “60-an dan setelah itu barulah bermunculan berbagai bentuk kaos baru, sepertitank top , muscle shirt , scoop neck , v-neck dsb.
Fashion, Kaos, dan Komunikasi
Meski sudah mulai mendunia sejak “50-an, konvensi mode dunia tetap saja belum memasukkan kaos ke dalam kategori fashion .
Kaos tetap saja dianggap sebagai pakaian dalam yang tidak pantas
dikenakan sebagai pakaian luar. Memakai kaos masih juga dianggap sebagai
tindakan yang unfashion.
Karena itu pada masa musik heavy metal mulai
digemari kalangan muda, mereka ini sengaja memilih seragam kaos oblong
sebagai bentuk penolakan terhadap konvensi arus utama mode dunia ( high fashion )
(McRobbie, 1999). Menyobek beberapa bagian dari kaos oblong bahkan
merupakan bagian dari gaya subkultur punk. Bagi mereka ini bentuk fashionadalah unfashion (Hebdige, 1999).
Perubahan
dalam bahan dan teknologi produksi kaos turut berperan dalam perubahan
makna kaos dalam kehidupan sosial.
Ditemukannya polyester dan
bahan-bahan fiber artifisial, bersamaan dengan diperkenalkannya bahan drip-dry untuk
pembuatan pakaian, penambahan variasi warna, gaya dan tekstur, membuat
kaos semakin diterima sebagai pakaian luar. Meski begitu, dalam
diferensiasi sistem fashion, hingga sekarang kaos masih digolongkan dalam kategori low fashion ( unfashion? ). [2] Berbeda dengan produk high fashion yang didesain dan dibuat secara khusus untuk orang-orang khusus, hampir semua kaos merupakan low fashionyang didesain untuk tujuan diproduksi secara massal.
Variasi
kaos sebagai pakaian luar sekarang ini sangat beragam. Kaos diproduksi
baik dalam warna-warna primer maupun dalam kombinasi yang lebih
kompleks, beberapa di antaranya dilengkapi dengan saku untuk menyimpan
alat tulis, rokok, atau benda kecil lainnya. Dengan begitu kaos tidak
hanya dipakai oleh kalangan muda, laki-laki, atau mereka yang berasal
dari golongan bawah saja, tetapi juga dipakai oleh siapa saja. Kita juga
melihat kaos dipakai dalam berbagai aktivitas, dari bekerja hingga
mengisi waktu senggang, seperti jalan-jalan di pusat pertokoan atau
bermain golf.
Kaos
oblong sekarang ini juga telah menjadi wahana tanda. Kaos, sebagaimana
pakaian lainnya, membawa pesan dalam sebuah “teks terbuka” di mana
pembaca atau penonton bisa menginterpretasikannya. Berbagai bentuk,
gambar, atau kata-kata dalam kaos merupakan pesan akan pengalaman,
perilaku dan status sosial. Kaos oblong mengkomunikasikan berbagai
lokasi atau identitas sosial: tempat (HRC, Borobudur, Bali, Yogyakarta), bisnis (Coca Cola, Yamaha, Suzuki), institusi (UGM, UI, ITB, De Britto). Kaos oblong lainnya mengkomunikasikan kelompok atau kolektivitas (Canissi Seminarium, Pro Iustisia), tim (MU, Inter Milan), konser atau acara kesenian(Jakjazz, Pameran AWAS!), komoditas yang dianggap bernilai (VW, Harley Davidson), pengalaman ceremonial (KKN UGM 2000), sementara banyak juga yang mengkomunikasikan slogan (Awas Pemilu 97 Curang, kaos-kaos Dagadu, Joger).
Betapapun
klaim atas identitas atau status dalam kaos oblong ini bersifat ambigu,
dalam terminologi Umberto Eco (1979), representasinya selalu bersifat undercoded , ia berhubungan secara synecdochical (satu
bagian dari kaos mewakili keseluruhan pribadi seseorang) dengan
pengalaman, relasi sosial, nilai, atau status yang diklaim secara
eksplisit atau implisit oleh pemakainya. Pesan yang disampaikan dalam
kaos bukanlah sekedar tentang tempat, kelompok, atau bisnis, tetapi
klaim atas status pemakainya. Seorang pemakai kaos oblong Dagadu
misalnya, bukan sekedar menyampaikan pesan bahwa kaos oblong yang
dipakainya adalah buatan Yogyakarta, melainkan juga mau mengumumkan
sebuah pengalaman yang menurut pemakainya cukup penting (ia seperti mau
mengatakan,”Mari saya beritahu pengalaman saya jalan-jalan di Yogya”).
[4]
Tetapi
sekarang ini kaos oblong juga dipakai untuk mengkomunikasikan apa yang
bukan bagian dari identitas seseorang. Misalnya, saya pernah melihat
seorang ibu muda yang sedang berjalan mengandeng anaknya.
Si ibu ini
memakai kaos dengan tulisan “BITCH” di bagian depannya. Apakah si ibu
ini tidak mengerti bahasa Inggris atau penguasaan bahasa Inggrisnya
pas-pasan, sampai ia tidak mengerti bahwa bitch (anjing betina)
adalah umpatan yang sangat kasar yang biasa dipakai untuk menyebut
wanita jalang? Apalagi waktu itu ia sedang menggandeng anaknya. Bukankah
si anak ini menjadi cocok dengan umpatan lainnya, son of a bitch ?
Seandainya si ibu ini cukup mengerti bahasa Inggris, tentu yang mau dikomunikasikannya adalah “saya bukan bitch “. Ini semacam pendifinisian double negative, di
mana seseorang mengklaim (secara ragu-ragu) keanggotaan pada kelompok
tertentu yang tidak eksis. Si ibu tadi mengklaim keanggotannya pada
kelompok “perempuan/ibu yang baik” tanpa menghadirkan kelompok yang
diklaimnya ini.
Hal yang sama juga terjadi pada kasus salah satu teman
saya yang memakai kaos bergambar logo Golkar untuk menunjukkan
pengejekannya pada Golkar atau untuk mengatakan bahwa ia bukan
simpatisan Golkar.
Dengan semakin tumbuhnya industri periklanan, kaos merupakan bilboards mini
yang cukup efektif untuk mengkomunikasikan sebuah produk, sebagaimana
mengkomunikasikan diri atau identitas. Seringkali kaos dijadikan iklan
berjalan yang oleh pengiklan kadang-kadang dibagikan secara gratis. Di
Indonesia, adalah hal yang biasa banyak orang berebut mendapatkan
pembagian kaos dari OPP pada saat Pemilu (tak jarang juga disertai
pembagian “amplop”).
Perusahaan-perusahaan sekarang ini juga membuat
kaos dengan nama atau logo perusahaan yang tertera di atasnya (Coca
Cola, Reebok, Nike, Wilson), dan menjualnya di toko-toko sebagai pakaian
produksi massal yang siap pakai.
Bagi sejumlah besar pemakainya, tentu
memakai kaos oblong tidak dimaksudkan sebagai iklan, melainkan sebagai
indikasi status dan pendapatan pemakainya, loyalitas atau kepercayaan
pada satu produk. Ia juga merupakan suatu bagian dari identitas diri,
“Saya adalah penggemar Coca Cola”, “Seperti Michael Jordan, saya memakai
Nike (bagaimana dengan Anda?)”.
[5]
Kaos-kaos
buatan perusahaan tertentu dianggap mewakili gaya hidup atau selera
yang khas, selain sekaligus si pemakai mengiklankan perusahaan
pembuatnya. Misalnya kaos bermerek Benetton, Ralph Lauren atau Calvin
Klein. Simbol-simbol tertentu pada kaos, seperti buaya kecil atau kuda
poni dan pemain polo kecil (dan berbagai variannya), juga sangat
penting. Simbol-simbol ini bukan hanya menunjukkan status pemakainya
yang mampu mengkonsumsi pakaian buatan desainer mahal, tetapi juga
status dalam sistem fashion itu sendiri (ketika kelompok desainer
Parisian juga memproduksi kaos, apakah kaos menjadi high fashion ?).
Kaos dan Kehidupan Modern
Lebih
dari jenis pakaian yang lain, sejarah kaos bukan saja menunjukkan
cepatnya perubahan teknologi dalam industri garmen, melainkan juga
menunjukkan bagaimana fashion bernegosiasi dengan ruang dan waktu.
Kaos
semula hanya diakui sebagai pakaian dalam. Dan dalam kaitannya dengan
pola penempatan ruang, sebagai pakaian dalam kaos adalah pakaian privat . Tetapi
kemudian dengan negosiasi lewat media massa dan penemuan bahan serta
model-model baru, kaos perlahan mulai tampil sebagai pakaian publik.
Karena itu, sejalan dengan kecenderungan kehidupan modern, perjalanan
kaos dari ruang privat ke ruang publik ini merupakan ekspansi ruang
privat atas ruang publik (privatisasi ruang publik).
Sementara dalam
kaitannya dengan pola pemanfaatan waktu, kaos menunjukkan bagaimana
waktu senggang semakin berhasil mengekspansi waktu yang lain dalam
kehidupan sehari-hari. Kaos bisa dilihat sebagai bagian dari leisure class , yang menunjukkan statusnya dengan pemanfaatan waktu senggang sebesar-besarnya (Rojek, 2000).
[6]
Persis seperti semboyan kaos oblong Dagadu ” Smart and Smile “,
kaos oblong mengajarkan bagaimana hidup modern harus dijalani:
berpenampilan cerdas, ringkas, tangkas, sekaligus santai. Hidup dengan
segala tetek-bengeknya yang rumit ternyata tidak harus dijalani dengan
rumit pula, melainkan bisa dijalani dengan “seperlunya dan santai”.
Dalam perspektif ini, papan pengumuman di kampus-kampus yang berbunyi
“Dilarang memakai kaos dan sandal” adalah warisan dari kehidupan masa
lalu yang “serius” dan sebentuk “pendisiplinan gaya”, yang tidak lagi
cocok dengan semangat smart and smile .
Karena itu mahasiswa
tetap saja berkaos oblong di kampus, pertama-tama bukan untuk
menunjukkan perlawanan langsung mereka kepada aturan hidup yang lama,
melainkan untuk menunjukkan bahwa diri mereka sendirilah yang paling
berhak atas penampilannya. Dan bagaimana mereka harus berpenampilan,
salah satunya ditentukan oleh resepsi mereka terhadap media massa, yang
juga mengajarkan smart and smile (misalnya semboyan iklan telepon
genggam Nokia seri 3210, “Begitu kecil, begitu cerdas”). Jadi hidup
modern dijalani dengan semangat mengisi waktu senggang. Inilah yang
disebut estetikasi kehidupan sehari-hari yang mencirikan kehidupan
modern (di mana “yang etis” bergeser menjadi “yang estetis”). Semangat
kehidupan modern sebenarnya adalah semangat kaos oblong.
Referensi
§ Ajidarma, Seno Gumira, 2001, “Djokdja Tertawa, Disain Kaos Oblong DAGADU”, Bernas , 12 Januari 2001.
§ Cullum-Swan,
Betsy dan P.K. Manning, 1990, “Codes, Chronotypes and Everyday
Objects”, makalah disampaikan dalam konferensi The Socio-semiotics of
objects: the role of artifacts in social symbolic process, 20-22 Juni
1990, University of Toronto. Tersedia di:
http://sun.soci.niu.edu/~sssi/papers/
pkm1.txt
pkm1.txt
§ Eco, Umberto, 1979, Theory of Semiotics , Indiana: University of Indiana Press.
§ Hebdige, Dick, 1999 (1979), Subculture, The Meaning of Style , London & New York: Routledge.
§ McRobbie, Angela, 1999, In the Culture Society, Art, Fashion and Popular Music , London & New York: Routledge.
§ Rojek, Chris, 2000, “Leisure and rich today: Veblen”s thesis after a century”, Leisure Studies19 (2000), hal. 1-15.
§ T-Shirt King, “History of American T-Shirt”. Tersedia di: http://www.t-shirtking.net/history_of_t-shirts.html
Makalah
ini disampaikan sebagai pengantar diskusi “Art on T-Shirt”, Bentara
Budaya Yogyakarta, 13 Januari 2001. Versi pendek tulisan initermuat di KOMPAS, 28 Januari 2001.
Catatan
[1] Dalam tulisan ini saya memakai kata kaos oblong dan kaos secara bergantian, keduanya menunjuk pada kata dalam bahasa Inggris t-shirt .
[2] Betsy Cullum-Swan dan P.K. Manning (1990) membuat diferensiasi fashion dengan lebih rinci, yang terdiri dari high fashion , mass fashion , dan vulgar fashion . Yang termasuk dalam high fashion adalah
pakaian yang didesain secara khusus untuk orang-orang khusus dan dijual
di outlet-outlet khusus. Dalam kecenderungan fashion dunia sekarang ini
high fashion tidak bisa dilepaskan dari keberadaan para desainer profesional, utamanya yang biasa disebut sebagai desainer Parisian. Mass fashion di
sisi lain lebih merupakan sebuah sistem mencipta, mendistribusikan, dan
menjual salinan dari pakain karya para desainer. Sementara vulgar fashionmerupakan pakaian yang diciptakan lewat produksi massal dari salinan mass fashion “selang beberapa waktu setelah sebuah produk mass fashion beredar di pasaran. Untuk diskusi ini, saya menyederhanakan diferensiasi ini menjadi dua bentuk saja, high fashion dan low fashion. Yang terakhir ini merupakan penggabungan dari mass fashion dan vulgar fashion .
[3] Karena
itu pameran “Art on T-Shirt”"yang disertai dengan penjualan secara
terbatas kaos yang dipamerkan”bisa dilihat sebagi usaha menaikkan gengsi
kaos atau usaha untuk memasukkan kaos ke dalam high fashion .
[4] Bagaimana
pesan dalam kaos sampai ke pembaca/penonton adalah persoalan lain lagi.
Untuk bisa dikatakan berhasil, klaim atas status atau identitas dalam
pesan membutuhkan legitimasi dari pembaca/pentonton. Adalah tidak
mungkin membuat interpretasi atasnya hanya berdasar pada kaos itu
sendiri (klaim pemakainya). Setiap pesan dalam kaos sebenarnya sangat
samar-samar ( equivocal ) dan pembaca/penonton mungkin tidak
percaya dengan pesan-pesan itu. Bisa diselidiki lagi, apakah kaos bisa
dijadikan alat manipulasi simbol status? (seperti kaos “Karl Marx, Since
1867″ dalam pameran ini atau kaos-kaos bergambar Che Guevara), apa yang
diklaim dan siapa yang mengklaim? Dengan kata lain, tanda ( sign ) dan wahana tanda ( sign vehicle ) pada kaos menyampaikan koherensi dan integritas representasional yang ambigu.
[5] Rojek
(2000) memberikan gambaran yang rinci bagaimana selebritis menjadi kaya
raya karena mengiklankan berbagai produk industri pakaian. Dan mereka
ini pada gilirannya akan menjadi salah satu agen pencipta fashion yang sangat penting.
[6] Sisi lain dari hal ini adalah kaos juga merupakan komoditas dalam budaya konsumen yang keberadaanya tidak bisa dilepaskan dari leisure class . Ajidarma (2001) mengaitkan kaos dengan budaya pop yang selalu bergelut dengan pasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar