Kamis, 17 Februari 2011

indie kreatif




Enggak mau ikutan tren
Anak-anak indie bikin gaya sendiri biar berbeda. Nyatanya, gaya mereka malah banyak pengikut dan jadi ngetren.
Musik bisa dibilang jadi ujung tombak berkembangnya komunitas indie. Sudah lama kita mendengar tentang band-band yang bergerak sendiri untuk memproduksi dan mengedarkan album mereka, yang biasa disebut pergerakan underground. Angkanya memang tidak besar jika dibandingkan dengan Sheila on 7 atau Padi. Tetapi, angka 50 ribu kopi untuk album indie sudah sangat bagus.
Makin lama, dukungan terhadap indie pun besar. Terbukti dengan masuknya nama band asal Bandung, Mocca, dalam deretan grup yang mendapatkan award dari MTV. Stasiun TV yang fokus pada musik itu pun memberikan tempat yang cukup besar bagi musik yang bergerak dengan semangat indie. Tak ketinggalan, sejumlah radio ikut menyediakan segmen khusus bagi musisi-musisi lokal.
musik Indie di Indonesia berjalan pesat dengan munculnya banyak musisi dan label indie berkualitas. Salah satu pioneer pencetak hits adalah FFWD Record dan Aksara Records. Mereka berhasil melahirkan musisi berbakat seperti Mocca, Homogenic ,White Shoes and the Couples Company.

Propaganda
Perkembangan hebat ini kemudian diikuti oleh elemen lain yang sangat menunjang. Salah satunya adalah media cetak. Untuk menunjang promosi, biasanya band membuat newsletter untuk memberitakan perkembangan bandnya. Berawal dari selembar kertas fotokopian, lalu mulai dicetak tipis, dan akhirnya bermunculanlah majalah-majalah yang tampilannya enggak kalah keren dibandingkan dengan media cetak mapan.
Bandung, enggak bisa dibilang enggak, adalah sarangnya orang-orang yang punya semangat indie. Dari kota ini dikenal beberapa majalah yang punya nama cukup besar, seperti Ripple dan Pause. Belum lagi majalah-majalah baru yang mulai berkembang.
Kota lain penghasil media cetak indie adalah Yogyakarta yang punya Outmagz dan Medan dengan M-teens, misalnya. Belum lagi yang berupa newsletter dengan kemasan lebih rapi seperti 10.05 (ten o’ five) yang dibagikan gratis.
Awalnya media cetak tersebut adalah ajang untuk propaganda. Tetapi, sekarang sudah berubah jadi bacaan yang bisa kita nikmati dan menambah wawasan kita.

Fashion

Style orang-orang ini juga terlihat berbeda dan unik, tetapi enggak "sejorok" seniman. Mereka tetap memperhatikan penampilan, tetapi dengan satu syarat: harus beda dengan yang lain. Syarat tersebut membuat mereka mendesain pakaian sendiri, biasanya berupa t-shirt, yang berbeda dengan rancangan orang lain. Walau sederhana, hanya mengandalkan kekuatan kata dan gambar pada kaus, ternyata desain mereka bisa memancing minat para pencinta fashion.
Biasanya tiap desain dibuat dalam jumlah kecil. Paling banyak satu desain hanya diproduksi 10 potong.
Perkembangan usaha ini makin menjamur. Puluhan merek bermunculan. Usaha bikin kaus itu disebut clothing. Enggak cuma t-shirt, tetapi juga berbagai aksesori, seperti belt, handband, sepatu, sampai boxer.
Makin hari, persaingan semakin ketat. Dalam persaingan ini yang utama adalah ide! Semakin unik dan fresh, clothing tersebut bakal makin dicari.

Distribusi

Banyak produk bersemangat indie dihasilkan, tetapi sedikit tempat yang bisa menjualnya. Karena keterbatasan dana, mereka kesulitan masuk ke toko-toko besar. Akhirnya, dibangunlah sistem distribusi yang memanfaatkan jaringan pertemanan. Sampai akhirnya ada sebuah solusi untuk hal ini, yaitu distribution outlet yang lebih dikenal dengan sebutan distro. Biasanya bermula dari menjual produk-produk mereka sendiri, kemudian berkembang banyak yang menitipkan barang untuk dijual di situ.
Belakangan distro makin menjamur di berbagai kota di Indonesia. Apalagi kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, dan Medan. Sebut saja 347 di Bandung, Cynical MD, atau Locker di Jakarta. Begitu banyak nama-nama baru bermunculan. Persaingan yang makin ketat membuat tiap distro adu unik dan eksklusif.

Banyak pengikut

Puncaknya sekarang ini kita banyak melihat anak muda yang gayanya distro banget. Dan yang sedang in saat ini adalah dandanan ala punk, dengan berbagai atribut, seperti spike dan belt, plus gaya rambut dan tato.

Indie
berasal dari kata independent, niatan awalnya adalah antitren. Tetapi keantitrenan itu justru membuat karya- karya mereka dicintai banyak orang. Akibatnya, malah ngetren.
Bahkan, tren itu makin besar gelombangnya. Banyak label rekaman besar yang mencari grup-grup band di kalangan indie. Bahkan sebuah label besar sampai membuat divisi khusus untuk band-band indie. Sudah jadi bisnis menguntungkan, rupanya.

Indie asli

Saat ini memang sudah sulit membedakan mana yang anak indie asli dan mana yang hanya pengikut. Tetapi, sebenarnya ada ciri-ciri yang tak bisa hilang dari komunitas ini.
Tak sedikit anak band indie yang mendesain sendiri pakaian mereka. Bahkan, turun sendiri ke jalan untuk menempel poster- poster event yang juga mereka buat sendiri.

Mereka bekerja keras untuk mempromosikan apa yang mereka lakukan dengan cara mereka. Maka bertebaranlah newsletter, flyer, dan poster, baik di distro-distro, kedai kopi, maupun toko buku dan kaset tertentu.

Setelah kata "indie" sering banget muncul di media apa saja, "indie" mulai jadi trend di masyarakat, tanpa mereka mengerti apapun artinya, dan akhirnya semuanya demam "indie", seperti demam-demam lainnya. Sepertinya ada yang "sucks" dari tereksposenya "indie", semua band yang baru punya demo live satu lagu plus stikerpun ikut-ikutan pengen disebut band indie, tanpa mereka mengerti perjuangan dan semangat independen. Hal ini membuat definisi band indie jadi kabur di masyarakat. Yang jelas ini memang jadi ajang beberapa pihak yang pengen mengeruk keuntungan dan memanfaatkan "indie" buat duit semata. Akhirnya yang bener-bener independen pun mati. It's a fucked up situation. isn't it?
Indie label

Sebuah gerakan kebebasan yang di dunia seni,bisa diartikan menolak kemapanan, memihak pada independensi dalam berkarya. Di dunia musik, lantas berkembang wadah rekaman yang mereka sebut indie label.

 Sejarah industri rekaman di Indonesia dimulai pada awal tahun 1960-an, tatkala Studio Irama mulai merekam lagu-lagu jenis hiburan (untuk menyebut lagu pop? jaman itu), melalui cakram (piringan hitam) untuk Nien Lesmana, Rachmat Kartolo dan Koes Bersaudara. 

Lalu, terjadi perkembangan berarti pada awal dekade 1970-an, tatkala almarhum Dick Tamimi mendirikan perusahaan rekaman Dimita, yang akhirnya merekam album Koes Plus (dengan drummer Murry menggantikan Nomo Koeswoyo), band wanita Dara Puspita dan grup Panbers. Pada jaya Dimita inilah Indonesia mulai memiliki band-band rekaman yang saat kemudian mampu menyemarakkan industri rekaman pop maupun panggung.

Pada saat yang hampir bersamaan, ada sekelompok musisi yang populer dengan kebebasan berekspresinya, pada awalnya bisa dilihat dari gaya panggungnya yang ?nyeleneh? dan komposisi lagu ciptaannya yang unik, antara lain dapat ditemui pada karya The Gang of Harry Roesli, The Rollies dan Giant Step (Bandung), God Bless (Jakarta), dan AKA Group (Surabaya). Band-band yang disebut paling belakang itu bahkan berdiri dan berkreasi dalam rentang waktu antara tahun 1969 hingga memasuki tahun 1980-an. 

Bayangkan tentang penampilan God Bless dengan peti mati atau AKA Group yang ke panggung dengan membawa roda pedati raksasa, sementara band Rawe Rontek dari Banten manggung di belakang Gedung Sate (Bandung) pada tahun 1976 dengan memakai atraksi debus lengkap dengan penggorengannya di atas kepala vokalis.

 Kebebasan berkreasi yang mereka usung sebagian diakomodasi melalui album-album rekaman yang berbeda dan panggung dengan model audiens yang beragam pula. Ini artinya, heterogenitas musik di Indonesia sejatinya telah ada sejak akhir dekade tahun 1960-an hingga hari ini, yang sebagian lagu karyanya dapat diakomodasi melalui label rekaman besar yang biasa disebut sebagai major label.

Sejumlah nama dan karya pemusik sempat ditolak satu label, tapi akhirnya diterima oleh label lainnya, dan akhirnya albumnya meledak di pasaran. Contoh hal ini adalah album Camelia, album perdana Ebiet G Ade yang diluncurkan Jackson Records pada seputar 1979. Juga lagu-lagu pada album Peterpan yang diedarkan oleh Musica Studio?s.

Pada tahun 1994, Pas Band dari Bandung memulai revolusi rekaman band indie melalui mini album rock 4 lagu. Meski mini album Pas Band awalnya beredar terbatas di Bandung dan sekitarnya, komunitas indie ini terendus oleh Aquarius Musikindo yang kemudian memutuskan mengontrak Pas Band untuk bergabung. Maka, terbitlah album berisi lagu-lagu di album indie plus lagu-lagu baru Pas Band melalui major label Aquarius Musikindo (1995).

 Terobosan ini dilanjutkan dengan direkrutnya Suckerhead oleh Aquarius, dan juga direkamnya grup cadas Edane pada tahun berikutnya. Lalu ? untuk menampung puluhan band indie lainnya ? Aquarius resmi membuka label baru dengan bendera Independent dan Pops pada 1997. Nama-nama Type-X, Betrayer, Rumah Sakit, solo album Agus Sasongko, adalah sebagian dari musisi yang pernah ber-indie ria.

Di Sony Music, band-band indie juga diakomodasi, tanpa diintervensi karyanya, antara lain untuk album Superman Is Dead, Saint Loco, Navicula dan banyak lainnya. Sementara itu, di luar major label, gerakan indie terus menanjak naik. Puncaknya terjadi pada awal tahun 2000, tatkala GOR Saparua di Bandung, hampir saban Minggu menggelar acara penampilan band-band indie dari penjuru Indonesia, dengan syarat biaya transportasi dan akomodasi ditanggung manajemen musisi sendiri. Pada saat itu, setiap band manggung harus ikut mendanai pesta musiknya sendiri dengan membayar sejumlah uang untuk biaya sewa tata suara, alat musik, panggung, dekorasi dan venue. Di luar GOR Saparua, jualan album indie dan merchandise-nya, termasuk majalah indie lokal, digelar.

Tapi sejarah band indie yang paling spektakuler penghasilannya bisa dipastikan berlaku pada Slank. Band yang bermarkas di Jl. Potlot Jakarta ini telah menyimpan fans fanatik terdaftar dalam komunitas Slankers sebanyak 400.000 orang. Slankers inilah pembeli fanatik kaset dan CD, merchandise Slank, dan penonton konser Slank, yang terus mencoba menghindari membeli barang bajakannya. 

Jika Slank sendiri telah ber-indie ria sejak album ke 7 (hit ”Balikin”) melalui label Slank Records dengan model titip edar lewat Virgo Ramayana Records, maka inilah industri indie yang terbesar dalam sejarah indie label di Indonesia. Itu pula sebabnya, hanya Slank yang berani melepas 2 album dalam setahun (album reguler dan album road show), karena telah jelas jumlah pembelinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar